Judul Buku: Penjajahan Kapitalisme/Penulis: Noorena Hertz/Penerbit: Nuansa Cendekia Bandung 2011/Tebal: 312 Halaman/Harga: Rp 39.
Pada
beberapa bulan terakhir ini demontrasi anti globalisasi kembali marak.
Di Madrid, Spanyol, Hongkong, London, Amerika dan beberapa negara lain
gugatan
terhadap lembaga koorporasi internasional dan juga organisasi perdagangan dunia (WTO) menegaskan bahwa kapitalisme tetap menyisakan problem.
terhadap lembaga koorporasi internasional dan juga organisasi perdagangan dunia (WTO) menegaskan bahwa kapitalisme tetap menyisakan problem.
Benar bahwa politik kapitalisme berjaya. Tetapi, menurut
Noorena Herzt, Realitas global sekarang adalah realitas di mana
raksasa-raksasa perusahaan yang telah berhasil mendelegitimasikan
kekuasaan negara. Sekarang ini nampak terlihat jelas, sebuah dunia di
mana konsumerisme dipersamakan dengan kebijakan ekonomi, tempat
berbagai kepentingan perusahaan merajalela, tempat
perusahaan-perusahaan memberlakukan jargonnya hingga ke gelombang udara
dan mengendalikan negara dengan kekuasaan imperial.(halaman 16)
Akibatnya,
keadilan, persamaan, hak asasi, lingkungan, dan bahkan isu-isu
keamanan tersisihkan dari arena politik. Keadilan sosial berubah arti
menjadi akses pasar. Jaringan-jaringan pengaman sosial telah diperlemah
posisinya (halaman 18). Serupa dengan itu, kasus invansi AS ke Irak
tahun 2002 lalu, dengan alasan terorisme yang sudah kita ketahui
kebohongannya juga adalah bagian dari akses AS untuk meneguk minyak di
negeri seribu satu malam itu.
Dalam kenyataannya, globalisasi
juga “berprestasi” dalam menajamkan kesenjangan ekonomi antara si kaya
dan si miskin. Selama ini banyak orang menganggap hanya negara-negara
dunia ketiga yang terkena dampak globalisasi. Tapi dengan analisis
cerdasnya, Noorena membuktikan AS sendiri terkena dampaknya. Selama
sepuluh tahun setelah 1988, pemasukan keluarga-keluarga paling miskin
di AS meningkat kurang dari 1%, padahal angka pemasukan itu melompat
15% bagi kelima orang terkaya.
Kota New York 20% termiskin
memperoleh pendapatan tahunan rata-rata $10.700 sementara 20% terkaya
mendapatkan $152.350. Gaji kalangan bawah tergolong sangat rendah.
Jutaan orang AS yang bekerja dan satu dari lima anak AS kini hidup
dalam kemiskinan, dengan 48% dari kalangan lapar AS adalah keluarga
yang memiliki anak. (halaman 10)
“Kapitalisme telah berjaya,”
teriak Noorena!, akan tetapi hasil rampasannya tidak dinikmati oleh
semua orang. Globalisasi pada akhirnya tidak dimiliki oleh masyarakat
dalam pengertian Negara. AS memang Negara kapitalis yang kaya, namun
kekayaannya tidak secara otomatis dimiliki semua warganya, terutama
warga AS yang berada di lapisan bawah.
Demikian sebaliknya, di
negara-negara berkembang, globalisasi tidak lantas memiskinkan semua
orang. Mayoritas warga memang miskin dan terbelakang, tapi mereka
minoritas elit politik dan elit bisnis justru mendapat berkah dari
datangnya era globalisasi. Para pengelola Negara berpolitik tanpa
“ideologi”. Sekalipun menjadi regulator dalam badan hukum Negara dengan
segenap kewenangannya, namun fungsi mereka tak lebih hanya sebagai
kaki tangan lembaga-lembaga keuangan kapitalis.
Mereka nampak
harmonis menjalin hubungan dengan elit politik ketimbang dengan para
pemilihnya. Konstituen hanyalah batu loncatan bagi para politisi dalam
meraih kekuasaan. Selanjutnya, platform pembelaan atas rakyat kecil
menguap begitu saja setelah pelantikan jabatan-jabatan politik
dilangsungkan.
Ketiadaan kemampuan pengelola Negara dalam
merumuskan kebijakan yang pro rakyat membuat status sosial para elit
politik terdelegitimasi. Rakyat sadar bahwa di dalam kekuasaan ada
banyak konflik kepentingan para bisnisman yang berpolitik.
Rakyat
semakin antipati terhadap politisi karena mereka enggan membela
nasibnya. Akibatnya, demokrasi yang kini sedang merebak semenjak
dasawarwa 1980-an dengan dukungan khas mobilisasi massa yang kokoh,
kian memudar. Inilah yang menjadikan buku ini sangat relevan untuk
melihat kelakuan politisi di Indonesia di era demokrasi sekarang ini.
Lebih
jauh dari itu, buku ini memperlihatkan bahwa telah terjadi pengambil
alihan secara diam-diam (Silent Takeover). Maksudnya, peranan negara
(bahkan dunia) secara diam-diam diambil alih oleh perusahaan.
Buku
ini juga menunjukkan bahwa ekonomi lebih dipandang penting ketimbang
politik; warga telah dicampakkan, dan konsumen adalah segala-galanya
yang perlu diperhatikan. “Sebuah dunia yang disitu sumber-sumber
perusahaan membuat kerdil sumber-sumber negara, dan kaum pebisnis
melebihi tingkat prestasi para politisi.”(halaman 21). Mengutip Eric
Hobsbawm (1999), ‘Partisipasi di pasar telah mengrantikan partisipasi
dalam politik.”
Noorena memang skeptis terhadap kehidupan
globalisasi. Tapi ia mengakui tidak anti-kapitalisme, sebagaimana kaum
kiri. Sekalipun sangat lugas mengkritik praktek bisnis, Noorena
sebenarnya bukanlah intelektual anti-bisnis. Korporasi bagi Noorena
bukanlah hal yang amoral, tetapi dalam penjelasannya, ia berpendapat
korporasi memang bersifat ambivalen secara moral.
Di hadapkan
pada pelbagai ekstrimitas kehidupan yang sulit kita terima ini, Noorena
menawarkan agenda baru dalam rangka merevitalisasi politik dan
memperbarui demokrasi. Sikap kontranya terhadap globalisasi bukanlah
sikap yang ideologis ala aktivis kiri.
Noorena justru ingin
menembus kevakuman perspektif yang selama ini dipakai oleh kelompok
anti-globalisasi. Namun demikian kata Noorena, “jelaslah bahwa buku
saya ini dimaksudkan secara tanpa malu-malu sebagai pro-rakyat,
pro-demokrasi, dan pro-keadilan.”[]
Faiz Manshur. Penulis Independen, Tinggal di Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk berhubungan dengan redaksi silakan hubungi nuansa.cendekia@gmail.com. untuk layanan pembelian buku bisa hubungi nuansa.market@gmail.com