Drama Sejarah 1832 (Kisah Diponegoro di Masa Pembuangan di Manado)/Penulis:
Remy Sylado/Desainer:
Andy Yoes Nugroho/Penerbit:
Nuansa Cendekia 2012/Tebal:
92 hlm/Rp:22.500.
Nama Diponegoro sudah tidak asing lagi di negeri ini. Beragam
buku sejarah, telah hadir memenuhi rak perpustakaan pribadi maupun institusi
pendidikan. Ia adalah legenda nusantara yang karena itu patut mendapat tempat
khusus. Dari sinilah kemudian Remy Sylado, seorang sutradara terkemuka
Indonesia ingin menghadirkan kekhususan Diponegoro dalam bentuk drama.
Sebagaimana ciri khas Remy yang menulis dengan tujuan khusus,
kali ini menghadirkan teks sejarah-drama dalam tujuan untuk menggali sumber
kebinekaan yang jauh di masa lalu hidup berkembang di Minahasa.
Pada tahun 1832, saat itu, Pangeran Diponegoro ditawan di Manado, dan
pengikutnya bersama Kyai Mojo diblanglas di Tandano melestarikan budaya
sinkretisme Islam-Jawa. Berbareng dengan itu zendeling asal Jerman, J.F Riedel,
memilih menginjil di Tondano dengan pola teologi pietisme. Sementara latar
keyakinan masyarakat Minahasa sendiri kala itu adalah agama suku yang
memercayai antara opo (dewa) dan opo-opo (jimat) menurut model tersendiri
panteisme.
Dalam kisah ini Remy memotret kenyataan yang menarik bahwa,
kala itu, terjadi kenyataan perlintasan kebudayaan yang unik dari dua latar
keyakinan agama samawi di atas latar agama suku, dan itu berlangsung secara
damai dan mesra. Hal ini menurut Remy bisa menjadi cermin ideal keberagamaan
dalam kerukunan sejati.
Selain itu, Remy juga memotret laku hidup petinggi kolonial
dengan beragam kontradiksi. Ada kisah Residen, Tuan Pietermaat yang sering
konflik dengan istrinya karena perbedaan sikap dalam memandang pribumi. Ada
pula potret hidup sang penginjil Protestan Riedel dengan masyarakat pribumi di
Tondano.
Cinta, kesetiaan, religi, keserakahan, menyatu dalam
dramatika hidup manusia. Tafsir sejarah dalam naskah drama ini memiliki
nilai-nilai agung perjuangan hidup manusia.
Sekalipun naskah ini berupa kajian sejarah, tetapi Remy pun
menyadari bahwa isi buku ini tetaplah interpretasi personal yang harus diakui
sebagai kisah fiksi. Maka, dengan mendudukkan sebagai tafsir sejarah ala
sastra, kita semestinya mendudukkan buku ini bukan sebagai buku sejarah
faktual, melainkan sebagai karya sastra yang dari sanalah kita berhak memetik segudang
inspirasi kemanusiaan.
Penting dibaca oleh kalangan muda Indonesia, bahkan perlu
dianjurkan kepada siswa sekolah SMP dan SMA karena buku ini memang pantas
sebagai salahsatu bacaan inspiratif untuk nasionalisme, kebinekaan dan mentalitas
hidup yang baik.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk berhubungan dengan redaksi silakan hubungi nuansa.cendekia@gmail.com. untuk layanan pembelian buku bisa hubungi nuansa.market@gmail.com