Twitter Nuansa


Breaking News

15/01/13

Hukum Tata Ruang



Judul: Hukum Tata Ruang/Penulis: Ir. H Juniarso Ridwan, M.Si., M.H. dan Achmad sodik, S.H., M.H/Penerbit: Nuansa Cendekia/Tebal: 268 Halaman/Harga: Rp 45.000,-

Bumi luasnya tidak bertambah; daratan dapat bertambah di satu tempat tetapi berkurang di tempat lain. Bumi sebagai tempat hidup dapat dilihat secara vertical dan horizontal. Vertikal dapat dilihat tegak lurus dari inti bumi sampai ke angkasa yang tidak terbatas; horizontal dapat dilihat sebagai satu kesatuan hamparan yang meliputi daratan dan lautan.


Penghuni bumi terus bertambah yang semuanya sudah pasti memerlukan tempat untuk beraktivitas dan beristirahat; baik istirahat karena lelah maupun istirahat karena berakhir hidup. Dengan demikian, terwujud dua keadaan yaitu luas bumi yang tidak bertambah dan kebutuhan ruang yang terus berkembang sesuai kebutuhan ruang yang terus berkembang sesuai dengan bertambahnya penduduk dunia. Dua keadaan yang kontradiktif tersebut akan terus terjadi apabila melihat kecenderungan perkembangan manusia dimuka bumi.

Manusia hidup dimuka bumi tidak hanya sekedar diam, tetapi juga memerlukan penghidupan yang berasal dari berbagai sumber, pertanian, perikanan, perniagaan. Sebagai mahluk, apapun agama dan kepercayaannya, manusia memerluka tempat ritual dan sebagai yang fana manusia akan memerlukan tempat peristirahatan terakhir.

Semua kegiatan tersebut memerlukan sarana yang berhubungan dengan ruang. Pada mulanya, ketika manusia belum banyak, pengguna ruang bukan merupakan masalah. Bahkan dalam satu ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata dan juga hokum internasional, manusia dapat memiliki hak milik atas tanah karena menemukan tanah baru. Akan tetapi setelah semakin banyak, ruang menjadi sesuatu yang kritis untuk menjadi perhatian semua manusia terutama orang-orang yang berilmu.

Untuk mencapai keselarasan pemanfaatan ruang, kesinambungan dan keberlanjutan memerlukan suatu arahan yang bersifat nasional (bahkan internasional) berupa politik penataan ruang; dan untuk dapat diterapkan secara memaksa harus diwujudkan dalam bentuk peraturan undang-undang.
Di Indonesia, undang-undang pertama yang khusus mengatur tata ruang adalah Undang-undang No 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang diikuti dengan berbagai aturan pelaksanaan baik berupa peraturan pemerintah, Keputusan/Peraturan Presiden, keputusan/peraturan menteri, peraturan daerah, maupun peraturan yang lebih rendah dari itu. Pada tahun 2007, Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
Dalam UU Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007, salah satu ketentuan yang baru adalah adanya ketentuan pidana yang dapat dikenakan kepada masyarakat maupun pejabat. Hal ini menunjukan adanya perhatian serius dalam menata ruang di Indonesia yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan pemanfaatan bagi kemaslahatan rakyat Indonesia.
Namun demikian, perkembangan penataan ruang di Indonesia belum diikuti dengan kajian yang khusus secara umum. Kajian-kajian yang ada selama ini masih bersifat bagian, parsial,  tidak utuh atau tidak menyeluruh. Kondisi ini dapat menyulitkan bagi para peminat untuk lebih memahami tentang hukum Tata Ruang Kerumitan ini semakin muncul ke permukaan di Era Otonomi Daerah yang memberikan sedikit keleluasaan kepada daerah untuk menata daerah yang termasuk ruang. Sesungguhnya penataan otonomi daerah dapat sejalan; akan tetapi dapat pula tidak sejalan apabila penataan ruang terlalu berorientasi pada PAD.

Penataan ruang sudah pasti menghasilkan PAD; itu tidak salah. Akan menjadi masalah apabila penataan ruang menjadi penataan uang karena dapat menghilangkan komitmen yang sudah dibangun untuk menata ruang, menyebabkan terjadinnya penyimpangan hukum atau lemah (lumpuh?)-nya penegakan hukum.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk berhubungan dengan redaksi silakan hubungi nuansa.cendekia@gmail.com. untuk layanan pembelian buku bisa hubungi nuansa.market@gmail.com

Designed By VungTauZ.Com