Judul: Mahir Bulu
Tangkis/Penulis: Hermawan Aksan/Penerbit: Nuansa Cendekia/Tebal: 148
Halaman/Harga: Rp 37.000,-
Pada paruh kedua tahun 1970-an,
Indonesia memiliki tujuh pemain bulu tangkis yang ketangguhannya tidak
diragukan lagi. Ketujuh pemain itu terdiri atas tiga pemain tunggal dan dua
pasang ganda putra. Mereka adalah Rudy Hartono, Liem Swie King, Iie Sumirat,
Christian Hadinata, Ade Chandra, Tjun Tjun, dan Johan Wahyudi.
Kalau kita meminjam judul sebuah
film, mereka sangat pantas menyandang julukan The Magnificent Sevent.
Kita bisa juga menyebut mereka “Tujuh Pendekar Bulu Tangkis”. Dengan tujuh pendekar berilmu bulu tinggi ini, Indonesia benar-benar ditakuti di jagat bulu tangkis. Piala Thomas tahun 1976 dan 1979 menjadi bukti kedahsyatan prestasi mereka. Turnamen All England menjadi saksi lain betapa Rudy Hartono dan kawan-kawan berhasil mengharumkan nama bangsa di level dunia.
Kita bisa juga menyebut mereka “Tujuh Pendekar Bulu Tangkis”. Dengan tujuh pendekar berilmu bulu tinggi ini, Indonesia benar-benar ditakuti di jagat bulu tangkis. Piala Thomas tahun 1976 dan 1979 menjadi bukti kedahsyatan prestasi mereka. Turnamen All England menjadi saksi lain betapa Rudy Hartono dan kawan-kawan berhasil mengharumkan nama bangsa di level dunia.
Setelah mereka mengundurkan diri,
prestasi bulu tangkis putra Indonesia sempat agak meredup meskipun tetap
menghasilkan sejumlah pendekar baru seperti Hastomo Arbi, Lius Pongoh, dan Icuk
Sugiarto, serta ganda Kartono/Heryanto.
Era kejayaan Indonesia di jagat
bulu tangkis kembali hadir pada 1990-an. Era ini ditandai dengan lahirnya
banyak sekali pemain tunggal putra. Tujuh di antaranya layak dicatat di sini,
yakni Hariyanto Arbi, Joko Suprianto, Alan Budikusumah, Hermawan Susanto, Ardi
B. Wiranata, Fung Permadi, dan Bambang Supriyanto. Seperti di era Rudy Hartono
dan kawan-kawan, mereka layak mendapat julukan The Magnificent Sevent karena
bergantian menjadi juara di berbagai ajang. Begitu banyaknya pemain tunggal
saat itu, karena kalah bersaing, sampai-sampai banyak yang memutuskan hijrah ke
luar negeri atau beralih menjadi pemain ganda.
Di sektor ganda putra, muncul
pasangan tangguh Edy Hartono/Rudy Gunawan, Ricky Subagja/Rexy Mainaki, diikuti
Candra Wijaya/Sigit Budiarto dan seterusnya.
Di tangan mereka, tim putra
Indonesia meraih Piala Thomas lima kali berturut-turut, mulai 1994 hingga 2002.
Sayang setelah itu dominasi
Indonesia menyurut lagi. Meskipun sejumlah pemain masih bisa mempersembahkan
gelar juara di nomor perseorangan, dominasi sudah berpindah ke negara lain.
Sektor putri pernah beberapa kali
meraih Piala Uber, lambang supremasi beregu putri, meskipun boleh dikatakan
belum pernah benar-benar dominan. Indonesia sempat berjaya melalui Susy Susanti
dan kawan-kawan. Tapi kejayaan mereka lekas surut dan belum juga muncul
penerusnya.
Mengapa dominasi bulu tangkis
Indonesia belakangan menyurut? Tentu banyak penyebabnya. Misalnya, kekuatan
bulu tangkis sekarang sudah merata, tidak lagi didominasi Indonesia, Cina,
Malaysia, Korea Selatan, dan Denmark. Negara-negara seperti Rusia, Jerman,
Jepang , Vietnam , dan Thailand mampu menghasilkan pemain-pemain tangguh.
Mungkin sistem pembinaan di
negara kita sudah ketinggalan dari negara lain. Mungkin juga diperlukan
terobosan dalam sistem pembinaan selama ini. Boleh jadi pembibitan perlu
digencarkan lagi, di antaranya dengan cara memasukkan bulu tangkis ke kurikulum
sekolah, mulai SD hingga SMA.
Di sinilah buku ini diharapkan
berperan, sebagai salah satu upaya untuk mengenalkan (kembali) permainan bulu tangkis kepada masyarakat
disertai dengan pengetahuan tentang bagaimana cara memainkannya, berikut teknik
dan taktik yang diperlukan. Hermawan Aksan. Penulis.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk berhubungan dengan redaksi silakan hubungi nuansa.cendekia@gmail.com. untuk layanan pembelian buku bisa hubungi nuansa.market@gmail.com